mamah army..

mamah army..

Kamis, 02 September 2010

Libur Telah Tiba


Libur sekolah telah tiba . Saatnya kita berbagi kecerian bersama di hari nan fitri ! sebelum itu , ajeng dan keluarga mau minta maaf ya kepada semuanya , kalo selama ini ajeng ada salah sama kalian :))

Berikan yang terbaik yang bisa kamu lakukan . agar kamu tidak menyesal dikemudian hari .. do the best .

Jumat, 13 Agustus 2010

Di Tangan Kita Ada Senyum Mereka!

Bel masuk sekolah pun berbunyi hingga terdengar di telingaku dengan dentingan yang sangat keras. Aku baru duduk di kelas 2 SMP disalah satu SMP Negeri di Bandung. Hari itu aku baru masuk sekolah setelah liburan panjang kenaikan kelas, pelajaran pertama adalah bahasa inggris. Ketika guru masuk semua murid mengucapkan salam dengan kerasnya. Ternyata guru bahasa inggris itu merupakan wali kelasku. Kegiatan hari pertama adalah pemilihan struktur kelas, banyak yang bilang sebaiknya aku menjadi ketua kelas karena suaraku yang keras melebihi anak laki-laki. Tapi aku menolak karena aku merasa tak sanggup untuk memimpin sebanyak 40 siswa yang berbeda-beda karakter dan aku lebih memilih menjadi warga kelas biasa. Tapi wali kelasku berkata lain, ia menginginkanku sebagai sekertaris, terpilihnya aku sebagai sekertaris karena faktor tulisanku bagus kata teman-temanku. Banyak teman yang sudah aku kenal diwaktu kelas 1 dulu, jadi tidak begitu canggung untuk berbincang bersama teman-teman di kelas 2 walaupun ada juga teman yang belum ku kenal. Setelah pemilihan sruktur kelas, kami langsung belajar. Baru 5 menit pelajaran berlangsung Bu Mamiek, guru bahasa Indonesia kelas 3 sekaligus Pembina Osis dan Kesiswaan di sekolahku marah-marah kepada kami. Kami tak mengerti maksud Bu Mamiek marah-marah kepada kami. Bu Mamiek terkenal dikalangan alumni dan senior karena galaknya, walaupun begitu Bu Mamiek sayang sekali kepada kami walaupun dengan cara yang seperti itu. Bu Mamiek pun terus marah kepada kami, aku hanya diam karena takut. “ Kalian itu tidak menghormati osis apa? Jika tidak ada perwakilan kelas untuk pemilihan ketua osis, kelas kalian tidak dianggap di sekolah ini! ” Kata Bu Mamiek dengan suaranya yang menggelegar di setiap sudut kelas. Akhirnya kami baru menyadari sebab Bu Mamiek marah. Kami membela diri karena kami tidak diberitahu tentang pemilihan ketua osis tersebut, kalau tahu pasti kami langsung mengirim perwakilan kelas kami untuk menghadiri pemilihan ketua osis tersebut. Bu Mamiek pun tidak menghiraukaun pembelaan diri kami. Akhirnya aku dan Gita dipilih untuk mewakili kelas.
***
Saat pemilihan ketua osis perwakilan dari setiap kelas mulai dari kelas 1 sampai kelas 2 serta perwakilan alumni osis kelas 3dan perwakilan setiap ekskul berkumpul di aula sekolah. Tidak begitu banyak yang aku kenal disana. Panitia pemilihan ketua osis menghampiriku, dia bertanya apakah aku mau menjadi calon ketua osis! Ini saatnya untuk aktif berorganisasi dan mengembangkan kreatifitas siswa sekaligus memberikan dampak positif untuk sekolah. Akhirnya aku bekata, “IYA” kepada Kak Febri yang saat itu menjadi salah satu panitia. Malangnya, namaku tercantum paling awal. Ketika itu aku sangat takut dan resah yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa semoga tuhan dapat melancarkan lidahku untuk berbicara. Padahal saat itu aku sama sekali belum siap untuk berorasi di depan semua orang untuk menyampaikan visi dan misi sebagai calon ketua osis. Aku melihat di kiri dan kananku, mereka semua terlihat seperti menghapal dialog. Dalam fikiranku, mungkin mereka sedang menghafal visi dan misi yang telah mereka buat untuk pemilihan ketua osis ini. Kebetulan di sebelah kanan ada teman semasa kelas 1 dulu namanya Farhanisa, dari kelas 1 ia sudah aktif di osis dan menjabat sebagai sekertaris II. Sekarang ia berniat untuk menjadi ketua osis, mungkin pengalamanku tak sebanding dengan Farhanisa. Disitu aku sudah mulai sangat pesimis, apalagi sepertinya lawanku semuanya punya potensi yang besar dibanding aku. Bu Mamiek menyuruh Farhanisa untuk terlebih dulu berorasi di depan, aku mulai tenang karena bukan yang pertama. Tetapi ternyata yang selanjutnya giliran aku, sungguh aku sangat bingung ketika itu karena belum menyiapkan visi dan misi, akhirnya aku berusaha untuk senatural mungkin dan mengeluarkan semua yang ada dalam pikiranku, sumpah itu detik-detik yang mendebarkan. Intinya “ Saya akan mencoba dengan sebaik mungkin untuk membuat sekolah ini lebih maju dan lebih baik lagi!”. Dalam hati saya, “Pasti tidak ada yang bertepuk tangan.” Tetapi tuhan berkata lain semuanya bertepuk tangan dan meneriaki saya “Go Ajeng Go Ajeng Go”. Ketika itu saya merasa lega karena sudah menampilkan orasi yang terbaik yang bisa saya lakukan dengan apa adanya. Voting berlangsung beberapa menit. Dan ketika penghitungan berlangsung Yonggalah yang sudah bisa dipastikan menjadi ketua osis. Aku dan Ressy mengikuti voting ulang karena jumlah point kami sama. Ketika pemilihan ulang yang memilih aku lebih banyak dari pada Ressy. Dan akhirnya aku mendapatkan jabatan sebagai wakil ketua osis. Itu merupakan jabatan tertinggi kedua setelah ketua osis. Ressy yang seharusnya menjabat sebagai sekertaris meminta untuk menjabat sebagai koordinator I saja karena ia merasa tidak mampu sebab tulisanya kurang bagus. Dan akhirnya untuk yang kedua kalinya Farhanisa mendapatkan jabatan sekertaris lagi di osis. Dan Bu Mamiek mengumumkan bahwa ia tahun ini pensiun sehingga jabatan pemibina osis dipindah tangankan ke Bu Iis yang bertugas sebagai guru BP atau badan konseling di sekolah, selain itu juga ia mengajar sebagai guru PLH. Kami sedih akan kehilangan sosok guru yang tegas dan mempunyai rasa pengabdian yang tinggi kepada bangsa dan negara seperti Bu Mamiek. 
***
Bel pulang pun akhirnya berbunyi, aku menunggu bis damri dari sebuah halte di depan sebuah mall yang dekat dengan sekolahku. Setiap hari aku selalu melihat lalu lalang pengemis dan orang gila setiap aku menunggu bis damri di halte itu tapi gak hanya di depan halte tersebut, di perempetan Jalan Supratman dekat dengan sekolahku juga banyak sekali pengamen dan pengemis. Tapi alangkah sedihnya aku melihat para pengemis itu turut membawa anaknya untuk mengemis ataupun harus mengamen, padahal seharusnya mereka sedang bersekolah layaknya seperti anak-anak yang lain, belajar, bercanda, bermain bersama teman sebayanya, tapi masa kecil mereka terenggut akibat ulah orang tuanya, padahal jika mereka tahu arti penting pendidikan maka kehidupannya pasti tidak harus mengemis ataupun mengamen, mereka calon anak bangsa yang seharusnya belajar dengan serius dan kelak menjadi orang sukses yang dapat mengharumkan nama bangsa. Tapi sejauh mana program pemerintah dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di Indonesia? Malahan program-program itu menjadi obyekan oleh para pejabat, padahal uang itu dari rakyat juga yang disalurkan melalui pajak, seharusnya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Terlebih lagi pemerintah mengabaikan isi yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 34 ayat 1 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara” Tapi mana??? Sedih rasanya jika harus melihat mereka mengulurkan tangan ke setiap mobil atau kendaraan yang berhenti jika lampu merah menyala. Tapi aku hanya seorang siswa SMP yang tak bisa berbuat banyak untuk mereka! Yang bisa aku lakukan hanya berdoa, agar para dermawan itu memberikan sedikit rezekinya untuk mereka. Dari kejauhan aku melihat damri jurusan Jatinangor - Dipati Ukur, itulah damri yang biasa aku naiki ketika pulang sekolah. Selama diperjalan aku sangat merasa senang sampai-sampai kondektur yang sedang mengkecrek uang recehan tak terdengar sama sekali, padahal tepat berada disampingku. Ah sungguh malu aku dibuatnya. Aku pun mengambil uang dari saku baju seragamku sebesar Rp. 3.500 dan kuberikan pada kondektur tersebut dengan senyuman yang sangat lebar, hehehehe. Selama diperjalanan aku hanya melihat kearah sekelilingku, di pertigaan jalan Buah Batu ada 2 orang anak kecil sekitar umur 7 tahun yang membawa gitar kecil menaiki bis damri yang ku naiki. Mereka merupakan sebagian kecil dari pengamen cilik di seluruh Indonesia. Dalam hati aku bertanya-tanya, “Apakah orang tuanya tega membiarkan anaknya mengamen demi mencari uang untuk sesuap nasi saja???” pertanyaan itu terus menggelayut dibenakku. Merekapun memulai menyanyikan lagu punk rock jalan. Dari matanya memancarkan keluguan seorang anak kecil yang sebenarnya tak tahu apa-apa tentang kehidupan yang mereka jalani selama ini. Ketika selesai benyanyi, mereka mengeluarkan plastik berwarna perak dari kantung celananya dan memulai mengulurkannya kepada para penumpang. Ketika pengamen itu sampai di kursiku ia berhenti sesaat dan memandangi botol yang berisi minuman jeruk yang digenggam oleh tanganku, akupun memberikan uang Rp.1000 dan minuman jeruk itu kepada kedua anak tersebut, padahal aku masih ingin meminumnya. Dekat tol Moh.Toha Bis Damripun berhenti untuk dikontrol oleh petugas ketika itupun kedua pengamen itu turun dari bis. Setelah dikontrol, bis damri pun mulai berjalan memasuki Tol Moh.Toha. Mungkin perjalanan dari sekolah menuju rumahku sekitar 1 jam lebih. Sejak dulu Ibu sangat menginginkanku sekolah di kota agar pendidikan yang aku dapatkan lebih baik. Itulah ibuku yang selalu memotivasiku agar selalu menjadi yang terbaik, tapi gak sebaik itu juga aku sering dimarahin sama ibu. Aduuuuh, sempat aku menyesal mempunyai ibu yang galak, tapi lama-kelamaan aku mengerti yang dikatakan ibuku semuanya benar, dan itu semua demi kebaikanku di masa depan agar menjadi orang yang sukses, dan bukan menjadi sampah masyarakat yang dikucilkan.
***
Rapat perdanaku pun dimulai, mengenai tentang tugas-tugas dan program yang akan osis jalani dalam satu tahun, entah itu program jangka panjang ataupun program jangka pendek. Aku pun pulang, seperti biasanya aku melihat banyak anak kecil sedang mengamen di perempatan jalan Supratman yang kebetulan tidak jauh dari sekolah ku. Sambil melangkah ke depan aku terus memandangi anak-anak itu. Terlihat wajah lelah dan letih tampak dari wajah anak-anak itu. Mereka terus memaksakan tersenyum kepada siapa saja yang membuka jendela kendaraan agar memberikan sedikit rezekinya. Tak banyak yang mereka dapatkan dari hasil mengamen, entah orang tuanya sedang berada dimana ketika mereka sedang bekerja mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari, karena kalau tidak ada uang ya tidak bisa makan. Mereka sebagai orang tua sangat tidak bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan kepada anak-anak yang tak berdosa itu, yang masih membutuhkan pendidikan, agar masa depan mereka lebih baik. Aku juga sangat merasa kasihan, kenapa gak orang tuanya aja yang mengemis, gak usah bawa anak-anak. Kalimat tersebut membuat aku terus berfikir bagaimana aku bisa merubah senyum palsu anak-anak itu menjadi senyum kebahagiaan. Dan membagi kesenangan bersama mereka. Mungkin aku hanya seorang anak yang mempunyai cita-cita yang bisa dibilang “kurang kerjaan” ngapain aku harus mikirin mereka, sementara aku juga harus terus menjalankan kehidupan aku sekarang dengan sebaik mungkin dan terus mengejar impianku sampai ku bisa menjangkaunya. Tapi aku sadar, mereka juga saudaraku juga, aku tak bisa membayangkan jika harus aku yang berada di posisi mereka. Tapi apa yang harus aku lakukan untuk mereka?? Aku bingung.
***
Suatu hari ketika aku berangkat ke sekolah, aku melewati sebuah panti asuhan di daerah Cicaheum, aku tak sengaja melihatnya. Letak panti asuhan itu tidak jauh dari terminal Cicaheum. Tapi bermula dari tempat itu aku terinspirasi untuk membuat sebuah program osis yang akan memudahkan cita-citaku untuk membantu anak-anak yang kurang mampu untuk bersekolah lagi agar cita-cita mereka bisa tercapai, apalagi panti asuhan tersebut berdekatan dengan 2 sekolah, yang pertama SD Negeri Cikadut dan yang ke dua SMP-SMA Al-Hadi. Setelah sesampainya di Cicaheum aku pun turun dan langsung menaiki lagi angkot jurusan Cicaheum-Binong, barulah aku akan sampai di sekolah. Aku pun turun dari angkot tersebut dan kemudian melangkah memasuki gerbang sekolah dan bergegas memasuki kelas. Setelah bel pulang berbunyi, aku segera berlari menuju ruang kurikulum tempat Bu Iis biasa berada. Akupun menjelaskan rencana yang telah aku fikirkan kepada Bu Iis. Ia pun setuju dengan ide ku yaitu untuk mengadakan “Bakti Sosial”. Dan akhirnya semua anak osis dipanggil untuk rapat kegiatan ini. Semua anggota osis beserta Bu Iis setuju jika aku menjadi ketua pelaksana program Bakti Sosial tersebut. Dan mulai besok kami akan mengumpulkan dana dari para siswa dan guru di sekolah kami. Hari pertama kami membuka posko di depan ruang osis, sehingga para siswa dapat dengan mudah untuk memberikan sumbangannya untuk anak-anak yang kurang beruntung. Kegitan Bakti Sosial ini oleh kepala sekolah hanya diberi waktu sekitar satu minggu untuk mengumpulkan dana sumbangan ataupun barang-barang yang masih layak pakai, tapi bisa juga sembako seperti beras, mie instan, atau kebutuhan sehari-hari. Jadi untuk mempermudah mempercepat terkumpulnya sumbangan, para anggota osis membagi-bagi tugas ke setiap kelas untuk memberi pengumuman tentang bakti sosial ini. Aku meminta Ressy untuk membantuku memberi pengumuman ke setiap kelas. Setiap kelas kami datangi, dan setiap kali masuk kami dimarahi, karena dibilang mengganggu pelajaran. Itu salah satu perjuangan saya untuk bisa membantu anak-anak yang kurang beruntung untuk bersekolah kembali agar bisa menemukan keceriannya kembali. Tapi ada beberapa guru juga yang baik hati menyambut kami seperti Pak Firman (guru bahasa sunda), Bu Tuti (guru basaha Indonesia), serta Pak Cecep (guru matematika). Ressy: “Assalamu’alaikum” murid-murid: “wa’alaikum salam” Ajeng: “ Bisa minta waktunya sebentar, karena ada pengumuman yang akan disampaikan osis tentang kegiatan bakti sosial yang akan diadakan osis sekolah. Ressy: “ Teman-teman, sehubungan dengan akan diadakannya bakti sosial kami dari osis SMPN 22 bandung mengharapkan partisipasi anda semua dalam kegiatan ini. Kami sangat mengharapkan sedikit sumbangan dari kalian semua untuk membantu kawan-kawan kita yang kurang beruntung. Dan dapat berupa: pakaian yang layak pakai, sembako, uang ataupun barang-barang yang berguna. Juga bisa seragam sekolah yang sudah tidak dipakai lagi. Sumbangan bisa diserahkan kepada anak-anak osis, guru maupun di posko baksos di depan ruang osis. Bakti sosial akan diadakan dari hari senin sampai hari jum’at minggu ini. Kami harap kalian bisa berpartisipasi membatu anak-anak yang kurang beruntung. Jadi dari hari Senin sampai hari Jum’at akan ada anak osis yang akan ke kelas kalian untuk mengambil sumbangannya. Sekian. Ajeng: “Ada pertanyaan?” murid-murid: “ enggak.” Ajeng: “ info lebih lanjut bisa ditanyain ke Bu Iis, wali kelas atau anak osis lainnya. Makasih.” Benar-benar hari yang melelahkan, tapi pasti terbalas dengan senyuman anak-anak yang kurang beruntung itu. Karena jika bukan kita yang menolong, lalu siapa?? Karena di tangan kita ada senyum mereka. Seperti biasa, setiap pulang sekolah aku selalu melihat anak-anak itu di perempetan jalan dan sedang mengamen di depan sebuah mobil mewah berwarna merah. Tapi ada yang membuatku miris melihatnya, anak-anak itu terus menyanyi di samping pengemudi mobil itu, bukannya mendapat sepeser uang malah mendapat cacian dan makian. Anak-anak itu tidak bisa marah atau membalas makian yang diterimanya, karena anak-anak jalanan itu bukan siapa-siapa. Makin sedih aku dibuatnya, rasanya ingin cepat-cepat hari itu, hari dimana kami bisa membantu anak-anak jalanan agar bisa kembali bersekolah dan mendapatkan tempat serta kehidupan yang layak. Sesampainya di rumah, aku cepat-cepat membuka lemari baju dan memilih baju atau seragam yang sudah tidak terpakai olehku tapi masih layak. Setelah merapihkan baju-baju yang akan aku serahkan nanti, akupun memecahkan tabungan kodok yang terbuat dari tanah liat yang sudah bertahun-tahun aku simpan di bawah lemari tv, padahal celengan itu sangat berharga sekali bagiku. Tapi karena aku sudah berjanji untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung itu agar bisa bersekolah jadi terpaksa aku harus merelakan celengan yang sejak kecil diberikan oleh kakakku itu. Setelah berpakaian yang rapih, aku segera ke pasar untuk membeli beberapa sembako untuk disumbangkan. Ketika melihat ke depan, “Waaahhh, saltum nih!” sungguh pakaian yang aku kenakan tidak cocok dengan keadaan pasar, becek jadinya gak ada ojek.. hehehehe bercanda. (kayak lagunya cinta laura aja). Tapi benar-benar becek, kotor dan penuh lumpur serta sampah dimana-mana. Begitu bobroknya pasar di Indonesia (tapi gak semuanya juga) pantas saja orang lebih memilih ke super market dibandingkan ke pasar tradisional. Padahal harga kebutuhan pokok di pasar lebih murah dan kualitasnya juga tidak jelek-jelek amat, jika kita pandai-pandai memilih-milih pasti bisa kita dapatkan barang yang berkualitas tinggi namun harganya ekonomis dan terjangkau oleh semua orang. Setelah aku obrak-abrik itu pasar akhirnya aku membeli beras, mie instan, gula dan kopi. Emang gak begitu banyak sih, tapi lumayanlah untuk disumbangkan. Keesokan harinya, aku pun langsung menyimpannya di ruang osis, walaupun untuk membawa ke sekolah cukup susah dan banyak rintangan serta godaannya. hehehe, apalagi aku naik kendaraan umum. Tapi ya sudahlah itu demi menepati janji aku juga. Yang penting mereka bisa tersenyum lebar tanpa ada senyum palsu yang menghiasi bibir mereka. Amin.. Ketika itu di daerah Bandung tepatya Dayeuh Kolot sedang terjadi bencana banjir, aku pun bingung memutuskan sumbangan bakti sosial ini. Apakah untuk anak-anak yang ingin bersekolah atau ke daerah bencana alam yang mungkin lebih membutuhkan pertolongan kami. Bagiku semuanya sangat penting, itu merupakan pilihan yang sulit. Tapi akhirnya aku sudah memutuskan yang terbaik bahwa sembako dan pakaian akan diberikan kepada orang-orang yang terkena bencana banjir di Dayeuh Kolot melalui perantara salah satu Koran Nasional (Pikiran Rakyat) sedangkan uang yang kami dapatkan dari sumbangan murid-murid, guru dan orang tua akan kami sumbangkan ke panti asuhan Anak Yatim di daerah Cicaheum agar anak-anak yang kurang beruntung bisa bersekolah tanpa tekanan apapun. Tadinya kami ingin memberikan langsung sembako dan pakaian tersebut langsung ke lokasi bencana, tapi kondisi tak memungkinkan bagi kami untuk pergi, jadi kami bersepakat untuk meyalurkan kepada Koran PR.
***
Aku senang melihat anak-anak tersenyum, seyum mereka merupakan bagian dari hidupku, tapi perjalananku untuk membuktikan janjiku masih berlanjut. Hari itu aku pulang menggunakan kereta api dari satatsiun Kiara Condong ke statsiun Rancaekek, dan ternyata aku ketemu dengan Ressy, mayang, intan, Sanny, fitri mereka ingin main ke rumah Sanny. Sepanjang kereta melaju Ressy bercerita katanya akan diadakan lomba film pendek dan lomba fotografer bertema persahabatan. Aku memang berminat sekali dalam membuat film, sudah 5 film pendek tentang pendidikan yang aku buat bersama Ressy untuk diputar di sekolah. Di sekolah aku dikenal sebagai sutradara film pendek + kameramen + pengedit film + pengarang cerita. Aku suka dengan sastra dan seni, karena aku dapat mengeluarkan ekspresi berseni walaupun masih amatiran. Apalagi dalam membuat cerpen, aku pernah diikuti lomba cipta cerpen dalam rangka Festival Lomba Seni Sastra Naional (FLS2N) tingkat kota Bandung dan pernah mengikuti lomba cerpen tingkat nasional yang di selenggarakan Departemen Agama walaupun kalah. Tapi pernah juga menjuarai peringkat II menulis cerpen pada pekan kreatifitas siswa. Yang pertama kali melihat bakatku menulis yaitu Bu Sri Kurniasih (guru b.Indonesia), dia selalu memotivasi dan memberiku semangat. Tapi aku sendiri selalu gak percaya diri. Masih merasa manjasi penulis amatir. Tak terasa keretanya sudah berhenti di statsiun Cimekar. Ressy dan yang lainnya turun,sementara aku masih terus menunggu hingga kereta sampai di statsiun Rancaekek. Di rumah, aku memikirkan ide cerita. Berkali-kali aku mengubah skenario filmku. Akhirnya aku memilih Ressy dan Sanny untuk menjadi pemain. Kita memilih lokasi syuting di taman anggrek yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Hari sebelumnya aku dan Sanny telah membuat beberapa adegan di statsiun Kiara Condong, setelah scene demi scene kami lakukan, dan akhirnya selesai juga. Kamipun bergegas pulang ke rumah. Di rumah aku cepat-cepat mengeluarkan laptop dan langsung mengedit film tersebut. Setelah jadi, aku langsung memasukkan film tersebut ke dalam sebuah keping cd. Keesokannya setelah pulang sekolah, aku meminta Ressy untuk membantuku mencari obyek foto yang bagus untuk mengikuti lomba fotografer, maklumlah jika ada perlombaan aku selalu antusias mengikutinya walaupun berakhir dengan kegagalan tapi aku bangga dapat menyalurkan bakat yang kumiliki, mungkin kekalahan adalah awal sebelum keberhasilan. Akupun melihat ada sekumpulan anak-anak jalanan yang sedang meminta-minta sana-sini. Akhirnya aku dan Ressy terfikir untuk membuat sebuah foto yang bertema persahabatan tapi dikalangan anak jalanan. Kamipun meminta 2 orang anak jalanan itu agar bergaya layaknya 2 orang yang bersahabat, merekapun malu-malu untuk difoto, perlahan kedua anak itu mulai mundur dan memegang ke sebuah tiang lampu merah diperempatan jalan. Ressy: “De, mau difoto ya! Ntar kaka kasih uang!” sambil mengambil uang 2000 rupiah dari saku seragamnya. Kedua anak jalanan itu hanya mengangguk saja diam seribu bahasa. Kami pun segera memoto mereka berdua, tapi sayangnya tak ada sedikitpun senyuman di dalam foto itu, seketika ibunya yang sedang membawa bayi menghampiri kami. Ibunya anak jalanan: “Kalian mau apa moto-moto anak saya? Kalian bukan wartawankan?” Ajeng: “Bukan bu! Kami ingin mengikuti lomba fotografer, dan kebetulan bertema persahabatan anak ibu kami jadikan sebagai objeknya.” Ibunya anak jalanan: “Benar kalian bukan wartawan?” Ajeng: “Bener Bu! Kami ini cuman siswa SMP” Akupun menyuruh Ressy agar bergegas pergi dari tempat tersebut, karena aku melihat 2 orang berbadan kekar akan menghampiri kami berdua, firasatku mengatakan bahwa 2 orang itu adalah orang-orang yang menyuruh anak-anak itu untuk mengemis. Ajeng; “Res, kamu tau gak kenapa ibu tadi langsung nyamperin kita?” Ressy: “Kenapa gitu? Kitakan gak ngapa-ngapain!” Ajeng: “ Iya, mereka nyangkanya kita ini wartawan yang mau nyelidikin tentang mempekerjakan anak di bawah umur, kan ada peraturannya jika memperjakan anak di bawah umur 17 tahun bakalan ada hukumannya, paling enggak dijeblosin ke penjara. Makanya mendingan, kita langsung pergi aja dari situ dari pada kita kena masalah!” sambil berjalan cepat kembali ke sekolah. Ressy: “Setiap kita mau ngejalanin sesuatu, pasti aja ada ujiannya dulu!” Ajeng: “Hahaha, iyaiya.. kalo gak ada ujiannya mah ga seru atuh!” sambil tertawa kecil. Ressy: “Yaudah yuk, kita cetak fotonya!” sambil menaiki angkot jurusan Riung Bandung-Dago. Setelah mencetak foto, Ressy mengirimkannya kepada pihak panitia lomba Film dan fotografer di salah satu mall di daerah Bandung Timur. Sementara itu aku dalam perjalanan ke tempat bimbel.
(Beberapa minggu kemudian)
Hari yang ditunggu pun tiba. Akupun bergegas pergi ke MTC tempat diadakannya pengumuman perlombaan. Di perjalanan aku di sms Ressy kalau dia gak bisa dateng buat ngehadirin acara ini, masalahnya dia sakit. Sedangkan Sanny sedang main sama temennya, jadi terpaksa aku harus mewakili mereka berdua. Aku menunggu sekitar 6 jam lamanya, ternyata pengumuman pemenangnya jam 5 sore. Saatnya tiba pengumuman perlombannya, ini merupakan hal yang penting bagi kehidupanku. Apalagi perlombaan ini tingkat kota Bandung, jadi seluruh pelajar mulai dari SD, SMP, dan SMA akan memperebutkan trofi dan uang total 16 juta yang dibagi ke dalam 10 kategori. It’s amazing, kami memenangkan perlombaan film pendek dengan menjadi juara I. “Alhamdulillah” Dan yang membuat saya bangga adalah tim jurinya berasal dari universitas ternama di Bandung yaitu ITB fakultas sastra dan seni. Sungguh itu membuat saya merasa sangat bangga. Akupun lalu sms ke Ressy bahwa kita menang lomba film pendeknya, tapi sayang untuk lomba fotografer kami kalah. Tapi tak sia-sia perjuanganku dan teman-teman selama ini. Kami memutuskan untuk mengadakan syukuran kecil-kecilan bersama anak-anak jalanan yang kurang beruntung. Aku sangat bersyukur telah diberikan mata untuk bisa melihat senyum tawa anak-anak yang kurang beruntung itu. 
***
Tak terasa satu tahun hampir kulewati dengan jabatan wakil ketua osis. Sebagai puncaknya dan sekaligus persembahan terakhir osis angkatan kami akan mengadakan PENSI sebelum masa jabatan berakhir, dengan tema “Show Your Talent”. Sekitar 3 bulan sebelumnya kami telah mempersiapkan Pentas Seni ini. Mulai dari pembuatan proposal, tata panggung, anggaran dana, bintang tamu, berbagai macam perlombaan untuk mengasah kreatifitas dan mengeluarkan bakat yang dimiliki para siswa yang mungkin masih terpendam dan tidak lupa film ke 5 yang kubuat dengan Ressy tentang pentingnya pendidikan, sudah selesai di edit hanya tinggal tunggu tanggal mainnya. Setiap ekskul, kelas, guru atau orang tua siswa di berikan tempat untuk membuka bazar di sekitar areal pensi. Pensinya berlangsung meriah, megah, dan spektakuler.Semuanya tertawa dan bersenang-senang dengan acara yang kami hadirkan. Di tengah kehangatan itu sepertinya ada satu hal yang kurang, tapi entah apa. Pembawa acarapun menyuruh agar aku naik ke atas panggung. Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat Bu Iis dan Ressy berjalan menuju panggung dan memberi sesuatu kepadaku yang tak terduga. Mereka membawa sebagian anak jalanan untuk ikut menghadiri kegiatan ini, mereka membawa anak-anak itu untuk memberiku kejutan, mereka tahu bahwa aku memiliki jiwa sosial yang tinggi,apalagi terhadap teman-teman yang kurang beruntung. Aku bisa benar-benar sangat marah jika ada orang yang membuang sebagian makananya entah itu nasi, lauk pauk atau makanan ringan, mereka yang membuang itu gak tau apa banyak orang yang kelaparan di luar sana! Mencari uang itu sulit, bahkan anak jalanan itu sudah di didik untuk bisa mandiri dan mencari makan untuk hidupnya di umur yang masih hitungan jari. Berbagai pengalaman tentang kehidupan anak kurang beruntung membuat aku mengerti arti penting kehidupan agar tidak disia-siakan begitu saja. Dunia ini tak lebih dari panggung sandiwara. Kehidupan jaman dulu berpola hukum rimba, yang kuat yang menang dan dapat menguasai makhluk lainnya, sementara kehidupan jaman sekarang mengenal hukum metropolitan, yang punya uang yang menang dan bisa memiliki segalanya. Tapi apakah salah anak-anak itu bersekolah untuk mengubah nasib masa depannya? Jika kita mau berusaha untuk membantu mereka, PASTI BISA. Jangan menyerah untuk sesuatu yang kita yakini benar. Better late than never, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Dan mulai dari sekarang ulurkan ke dua tanganmu, maka mereka akan mecoba dengan sebaik mungkin untuk menjangkau tanganmu. Karena Senyum Mereka Ada di Tangan Kita!
TAMAT


Salam Penulis Amatir


Ajeng Dewi Pajarwati

#2 Super Junior (슈퍼주니어) 2nd Asia Tour - Super Show2 [ShowBiz Extra]